Kamis, 17 Juli 2014

Tears in Gaza- Cerita 1



A blinding flash of white light.
Lit up the sky over Gaza tonight.




Ketika aku menikmati indahnya langit di malam hari, ada sebuah kilatan cahaya di langit Gaza. Cahaya itu begitu menyilaukan. Nampaknya seperti bintang jatuh. Seperti kata kebanyakan orang. Jika ada bintang jatuh, memohonlah sebuah permintaan.



Maka aku dan kedua teman ku yang bernama Saif dan Zaid, memohon sebuah permintaan. Lalu, aku dan kedua teman ku mengangkat kedua tangan dan menundukkan kepala.


'Ya Allah, lindungi negara kami, keluarga kami, saudara-saudara kami, dan lindungi seluruh rakyat Palestina.' Mohon ku dalam hati.


Kemudian aku melangkahkan kaki kecil ku. Saat baru beberapa langkah, aku begitu tersentak, ketika mendengar sebuah bunyi lendakan yang begitu keras. Hingga mengganggu sistem pendengaran ku.


People running for cover.
Not knowing whether they're dead or alive.

Seketika mataku membulat sempurna, saat melihat orang-orang berlarian ke sana ke mari tak tentu arah. Nampak begitu jelas rasa takut di wajah mereka. Aku menatap Saif dan Zaid yang berada di samping ku. Mereka sama seperti ku. Nampak kebingungan, dan tak mengerti apa yang telah terjadi.


"Lari nak, lari! Gaza di serang..." Ucap seorang ibu paruh baya, yang sukses membuat ku dan kedua teman ku saling menatap satu sama lain.


"Ayo kita lari!" Zaid menarik tangan ku dan tangan Saif.

"Tidak! Aku harus pulang, memastikan seluruh keluarga ku selamat." Ucap ku. Ku lepaskan genggaman Zaid dan langsung mengambil langkah cepat menuju rumah ku. Aku yakin, kilatan cahaya tadi adalah sebuah jet yang mengarah ke pemukiman di dekat rumah ku. Aku salah, karena telah menganggap kilatan cahaya itu sebagai bintang jatuh.


Ku percepat langkah kaki ku. Aku masih bisa mendengar suara Saif dan Zaid yang memanggil nama ku. "Husein... Di sana sangat berbahaya!" Aku tak peduli dengan ucapan mereka. Aku ingin memastikan keluarga ku, aku berharap mereka selamat.


"Husein, di sana sangat berbahaya.." Ternyata Saif dan Zaid mengikuti ku, kini mereka berada di samping ku. Aku tak menanggapi pernyataan mereka.


Semakin ku percepat langkah kaki ku. Suara jet dan bom saling bersahut-sahutan. Meledakkan apa pun yang menjadi sasaran sekutu.


They came with their tanks and their planes.
With ravaging fiery flames.


Dalam langkah ku menuju rumah ku, aku melihat pesawat-peasawat yang menjatuhkan bom di bumi Palestina ini. Api berkobar di sudut-sudut Gaza, membinasakan apa saja yang berada di dekatnya.


And nothing remains.
Just a voice rising up in the smoky haze.

Aku melihat asap tebal memenuhi langit Gaza saat ini. Termasuk di rumah ku. Asap tebal memenuhi bangunan yang sudah ku tempati bersama keluarga ku selama bertahun-tahun. Bangunan-bangunan di samping rumah ku sudah rata dengan tanah. Bahkan rumah ku hampir roboh. 'Rumah ku di bom?' Pikir ku dalam hati.


Ku langkahkan kaki memasuki rumah ku. Di ikuti Saif dan Zaid. Ku arahkan pandangan ku ke seluruh sudut ruangan, mencari anggota keluarga ku yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Kakak ku. Adik ku sudah meninggal akibat serangan sekutu pada tahun 2012.

"Husein.. Uhuk-uhuk."

Aku melihat seseorang yang memanggil nama ku. "Hasyim.." Jatung ku seakan-akan lompat dari tempatnya. Saat melihat keadaan Hasyim, kakak ku. Darah bercucuran dari kepalanya. Ia bersandar di dinding, satu tangannya memegang dadanya yang juga berlumuran darah. Tangannya yang lain memeluk sesuatu yang ku yakini adalah sebuah Al- qur'an.


"Pergilah, selamatkan dirimu! Uhuk-uhuk.." Hasyim memeluk ku. Aku merasakan tubuhnya yang bergetar.

"Ayah, Ibu, bagaimana dengan mereka?" Ku tatap wajah sendu kakak ku, kakak ku yang selalu cerewet jika aku tak mau sholat, dan yang selalu memaksa ku menghafal ayat-ayat suci Al- qur'an seperti dirinya.


"Mereka tidak selamat.. Uhuk-uhuk.." Hasyim terbatuk, darah segar juga keluar dari mulutnya. Ekor mata Hasyim mengarah ke bagian rumah ku yang sudah roboh.


"Ayah dan ibu, uhuk-uhuk.. Tertimbun di sana." Untuk kesekian kalinya jantung ku seperti lompat, air mata mulai menggenang di unjung mata ku. "Selamatkan dirimu, bawalah Al- qur'an ini. Jadilah seorang Hafidz, uhuk-uhuk. Al- qur'an akan menyelamatkanmu, di dunia maupun di akhirat."


Aku menerima Al- qur'an yang di berikan Hasyim. Ku tatap wajahnya yang sudah berlumuran darah. Hasyim tersenyum tipis ke arah ku.

Air mata ku semakin deras meluncur dari pelupuk mata ku. Ini begitu berat untuk ku. Aku yang baru saja menginjak usia 13 tahun. "Bertahanlah Hasyim..." Pinta ku. Lagi, Hasyim hanya tersenyum tipis.


"Peluk aku Husein.." Tanpa berpikir lagi, ku peluk tubuh jangkung Hasyim yang sudah lemas. Ku peluk ia dengan erat. Aku tak mau kehilangannya. Aku tak peduli dengan darah Hasyim yang mengotori baju dan sebagian wajah ku. "Selamatkan dirimu, selamatkan Gaza..." Hasyim memeluk ku begitu erat. Aku hanya bisa menangis dalam pelukkannya.


Perlahan-lahan, pelukan Hasyim melemah. Ku tatap wajah Hasyim. Matanya sudah terpejam. Tubuhnya lemas, tak bergerak. "Hasyim..." Aku benar-benar tak kuasa menghadapi semua ini. Pertama Aisyah, dan kini kedua orang tua ku juga kakak ku, mereka harus meninggal dengan cara yang begitu tragis.


Ku rebahkan tubuh Hasyim yang sudah tak bernyawa, di lantai. "Maafkan aku Kakak...." Inilah pertama dan terakhir kali aku memanggilnya Kakak. Selama ini aku memang selalu membencinya, lantaran sikapnya yang suka mengatur ku.


"Ayo pergi, rumahmu akan hancur. Ayo..."

Aku berdiri dengan di bantu kedua teman ku. Untuk yang terakhir kalinya, ku tatap Hasyim yang sudah tidak bernyawa. "Aku berjanji, aku akan menjadi seorang Hafidz, sepertimu Hasyim.."

_______

Cerita ini ku buat untuk anak-anak di Gaza. Semoga mereka di beri keselamatan dan ketabahan. Amin ya rabbal alamin.






Farikhatun Nisa'




Song: We will not go down- Michael Heart

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan dibiasakan jadi pengunjung gelap. Berikan komentar Anda, itu sangat penting bagi kelangsungan postingan saya. *jiaahh*