Chapter 1 | 2 |3|
Tittle: The Twins Marquez #3
Author: @farikha9358
Genre: Family, sad, etc.
Main Cast:
Masha Marquez Alenta (OC)
Marc Marquez Alenta
Other Cast:
Alex Marquez Alenta
Sabina Altynbekova
A/N: Hallo Readers, aku comeback membawa ff GaJe dan abal milikku. Sebelumnya aku mau minta maaf atas keterlambatan publish chapter ini, karena aku sedang ada sedikit masalah. Ya sudah, nggak mau banyak omong lagi. Happy reading ^^
Sorry for Typo
No CoPas! No Plagiarism! And No Bashing!
****
Sebuah cahaya kecil yang menyusup dicelah tirai jendela kamar, membuat Marc yang masih tertidur pulas sedikit terganggu. Dengan mata yang masih terpejam, Marc merubah posisi tidurnya sembari menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku.
Niat hati ingin melanjutkan tidur yang tadi sempat tertunda, tetapi gagal. Lantaran Marc kembali terganggu, kali ini bukan karena cahaya, melainkan karena suara dengkuran seseorang yang entah sumber suaranya datang darimana. Dengan malas, Marc bangun sambil mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya Matahari yang menembus tirai jendela kamarnya―yang juga menjadi kamar Alex.
Marc menyipitkan matanya, saat di lihatnya tubuh jangkung Alex yang sedang tertidur dengan mengahsilkan suara dengkuran yang menggema di seluruh sudut kamar. "Alex, kenapa kau ada di sini?" Tanya Marc dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Marc mengguncang tubuh Alex dengan lemas, karena tenaganya belum sepenuhnya kembali.
Bukannya terjaga, tidur Alex semakin nyenyak, bahkan suara dengkurannya terdengar sangat nyaring dari sebelumnya. "Dasar!" Dengan kesal, Marc menyambar kaus abu-abu miliknya yang tergeletak di meja tak jauh dari tempat tidurnya. Sembari berjalan keluar kamar, Marc mengenakan kaus itu dengan langkah menuju kamar mandi, sekedar untuk membasuh wajah dan sikat gigi.
Sesampainya di kamar mandi, Marc langsung membasuh wajahnya dengan air yang mengucur dari kran di wastafel. Dengan perlahan, Marc mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Seketika Marc terpaku, saat melihat pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Rambut hitamnya, alis matanya yang tebal namun terlihat rapi, manik mata cokelatnya, hidung mancungnya, bibirnya, semua sama dengan milik Masha. Tanpa ia sadari, bulir lembut turun dari mata Elangnya, mebasahi pipinya yang masih sedikit basah oleh air.
"Masha, mereka bilang kalau hidungmu lebih mancung dan matamu lebih indah.." Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, sedang merengek sambil memeluk anak perempuan seusianya yang terlihat sangat mirip dengannya. Bahkan bisa di bilang kalau anak perempuan itu duplikat dari anak laki-laki yang memeluknya dengan erat itu.
"Kita itu sama Marc, kau tak usah pedulikan apa kata mereka."
Marc memejamkan matanya, tangan kanannya menyentuh bibirnya dengan lembut.
"Apa?! kau sudah berciuman dengan Laia?!" Masha mengerucutkan bibirnya. "Kau jahat Marc, aku saja tidak punya kekasih, apalagi berciuman..." Masha menyipitkan kedua matanya, menatap tajam saudara kembarnya yang sedang duduk dan menatapnya dengan tenang.
"Kau bisa melakukannya dengan Pol, dia kan kekasihmu..." Marc terkekeh geli saat melihat Masha mengerucutkan bibirnya saat ia menyebut nama cowok yang pernah menolak cintanya.
Marc tersenyum kecut, saat mengingat kebiasaannya dulu, menggoda Masha dan membuatnya kesal akibat godaannya.
"Kau harus tetap semangat Marc... Kau tidak boleh putus asa begitu, mungkin tahun ini kau tidak berhasil mendapatkan gelar juara dunia. Tapi tahun depan, kau pasti bisa mendapatkannya." Masha memberikan semangat kepada Marc yang tengah terbaring lemah di Emergency Room, akibat terjatuh di sesi Free Practice dan harus merelakan gelar juara dunia kepada Stefan Bradl.
"Aku akan berusaha mendapatkan gelar juara dunia, asalkan tahun ini kau harus meraih gelar juara dunia di kejuaraan SuperMoto, dan tahun depan kita harus menjadi juara dunia bersama.. Bagaimana?" Marc meraba-raba, mencari tangan hangat Masha. Matanya ditutup dengan perban karena ada masalah yang cukup serius dengan matanya, dan ia harus absen 2 seri dari kejuaraan Moto2.
"Aku akan berusaha mendapatkannya untukmu Marc.." Masha menggenggam tangan Marc dengan erat.
Marc membuka matanya, ia kembali memandangi pantulan dirinya di cermin. Ada rasa bersalah yang teramat besar ketika ia melihat wajahnya sendiri. Marc selalu merutuki dirinya sendiri, ketika ia mengingat kecerobohannya yang menghancurkan semua impian Masha, bahkan impiannya sendiri.
"Pergi kau Marc... Aku tak mau melihatmu lagi, kau sudah menghancurkan semuanya Marc, pergi!!" Masha mengepalkan tangannya, menahan amarahnya. Masha terbaring lemah di Rumah Sakit akibat kecelakaan saat bermain MotoCross bersama Marc.
"Sha, aku minta maaf, aku tak sengaja dan... Semua ini tanpa sepengetahuanku, karena rem motor yang aku pakai tak berfungsi. Maafkan aku Sha, aku rela melakukan apapun asal kau mau memaafkanku, aku juga rela..."
'PRANG'
Sebuah suara benda yang jatuh, menyadarkan Marc dari lamunan panjangnya. Marc segera keluar dari kamar mandi, dan mencari asal suara tersebut. Marc melangkahkan kakinya ke arah dapur, karena terdengar ada seseorang yang tengah berada di tempat itu.
Benar saja, suara sebuah benda jatuh berasal dari dapur. Marc mendekat ke arah Masha yang berusaha turun dari kursi rodanya untuk membersikan pecahan gelas yang berserakan di lantai, "Berhenti Masha, kau mau terjatuh lagi, hah?!" Marc menahan tubuh Masha dengan lengan kekarnya.
"Aku bisa melakukannya sendiri, bodoh!" Masha mendorong tubuh Marc kebelakang. Dengan sigap Marc menahan tubuhnya agar tidak terjatuh ke belakang.
"Kau sudah membahayakan dirimu sendiri Sha... Kau membuat semua orang di rumah ini khawatir." Marc merendahkan tubuhnya, membersihkan pecahan gelas dengan hati-hati agar tangannya tidak terkena pecahan gelas yang tak kasat mata.
"Apa membuat susu sendiri itu berbahaya, hah?!" Masha menatap Marc dengan tajam.
Marc mendongakkan kepalanya, membalas tatapan Masha tak kalah tajam. Marc berdiri dan mendekat ke arah Masha, memangkas jarak diantara mereka yang tadinya berjarak setengah meter, dan kini hanya berjarak belasan sentimeter saja. "Kau memang keras kepala Masha... Kemarin kau sudah terjatuh dan hampir saja membahayakan dirimu, memangnya kau tak peduli dengan dirimu sendiri?! Huh..." Marc mengembuskan napas berat, ia lelah menghadapi sifat Masha yang keras kepala.
"Itu bukan urusanmu, Marc.." Masha membuang muka, mengalihkan pandangannya ke luar jendela dapur yang tidak terlalu besar itu.
"Tentu saja ini menjadi urusanku, karena kau saudara kembarku, kau juga bagian penting dalam hidupku dan... Kau seperti ini kerena kesalahanku." Suara Marc terdengar lemah saat mengucapkan kalimat terakhir.
"Bagus kalau kau sudah sadar, tapi sayang sekali, penyesalanmu tak berarti apa-apa untukku. Kau menghancurkan semuanya, kehidupanku, impianku, semua yang kudapatkan selama ini hanya sia-sia akibat kecerobohanmu.." Masha kembali menatap Marc dengan tajam, "Aku menyesal menjadi saudara kembarmu!"
Mata Marc membulat dengan sempurna, saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkankan Masha. "A-apa, menyesal?"
"Ya, menyesal, sangat menyesal!" Masha menekan nada bicaranya disetiap kata.
Marc berusaha mencerna ucapan Masha yang baru saja ia dengar. Marc berharap jika ia salah dengar, dan Masha tidak benar-benar mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang membuat dadanya sesak akibat rasa bersalahnya, kalimat yang juga membuatnya selalu merutuki dirinya sendiri.
"Aku benar-benar serius mengucapkannya Marc.." Ucap Masha seperti ia bisa membaca apa yang dipikirkan Marc.
"Kau..." Marc mengambil napas berat lalu mengebuskannya dengan kasar. "Aku memang salah besar, aku sudah menghancurkan mimpimu, aku sudah menghancurkan semuanya, dan aku juga yang membuatmu seperti sekarang ini." Marc menggigit bibir bawahnya, menahan amarah yang bercampur perasaan bersalah yang sudah bertahun-tahun selalu membayanginya. "Aku... Bisa merasakan apa yang kau rasakan selama ini Sha.." Marc menundukkan kepalanya, ia takut menatap Masha, keberaniannya lenyap begitu saja seperti di terbangkan oleh angin yang masuk lewat celah jendela yang sedikit terbuka.
"Omong kosong! Kau tak pernah merasakan apa yang aku rasakan Marc.. Kau tak merasakan bagaimana rasanya harus kehilangan semuanya, kau tak pernah merasakan hidup seperti mayat hidup yang hanya bisa menghabiskan sisa waktu di atas kursi roda, dan terlihat seperti manusia tak berguna.."
Marc mengepalkan kedua tangannya, "Aku memang tidak pernah merasakan semuanya, tapi apa kau juga merasakan apa yang aku rasakan selama ini?! Dihantui perasaan bersalah setiap detik, bahkan harus mengkonsumsi obat penenang saat sebelum tidur, apa kau pernah merasakannya, hah?!" Marc menatap Masha dengan amarah yang sudah tidak bisa dibendung lagi. "Arrgghh...." Marc menendang kursi di sebelahnya, lalu melangkah pergi meninggalkan Masha yang sedang duduk termangu di atas kursi rodanya. Bahkan Marc tak menyadari ada seseorang selain dirinya dan Masha yang saat ini hanya berdiri terpaku di undakan tangga, dengan mulut menganga, tak percaya.
"Aku tidak tahu itu Marc.."
****
Sabina menggosok-gosokkan kedua tangannya, untuk memberikan rasa hangat kepada tubuhnya, meski hawa dingin terus menerpanya. Sesekali Sabina menempelkan kedua tangannya yang hangat di kedua sisi pipinya, sembari mengarahkan pandangannya ke kanan dan ke kiri, melihat jalanan yang tampak lengang, hanya ada beberapa pejalan kaki yang terlihat lelah sehabis bekerja seharian.
Sabina melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, jam menunjukkan pukul 11 p.m, ia menghela napas berat, sudah hampir 1 jam Sabina menunggu Taxi di depan toko buku, tapi tak ada satu pun Taxi yang lewat. Di jam-jam seperti saat ini sudah tidak ada kendaraan umum yang lewat selain Taxi.
"Sabina, kau masih di sini?" Tanya Janet, penjaga toko buku yang sudah mengenal Sabina sejak 2 tahun yang lalu, karena Sabina sering sekali membaca atau membeli buku di tempatnya bekerja.
"Iya Jane, belum ada Taxi yang lewat. Apa kau sudah mau pulang?" Sabina melangkah mendekati Janet yang sedang mengunci toko buku, sembari merapatkan jaket cokelat yang ia kenakan.
"Iya, ini sudah malam, sudah waktunya toko tutup. Oh iya, di jam seperti sekarang ini sudah tidak ada Taxi atau Bus yang lewat, apa kau mau menginap di apartemenku saja?" Tawar Janet, ia tinggal di apartemen yang tak jauh dari toko, ia sebenarnya lahir dan besar di Valencia, namun ia memilih pindah ke Lleida 2 tahun yang lalu karena sebuah masalah.
"Tidak, aku pulang dengan berjalan kaki saja jika 2 menit lagi tak ada Taxi yang lewat."
"Baiklah, kalau begitu hati-hati di jalan ya..maaf tidak bisa menemanimu di sini, karena pangeran kecilku sudah menunggu, bye..." Janet melambaikan tangan sembari melangkah pergi meninggalkan Sabina.
Sabina membalas lambaian tangan Janet dengan sebuah senyuman tipis di bibirnya. Ia kembali melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, lalu melihat jalanan yang sudah benar-benar terlihat sangat sepi. Akhirnya, Sabina memutuskan pulang dengan berjalan kaki, meski jarak antara toko buku dan rumahnya cukup jauh.
Sabina berjalan menyusuri trotoar yang melewati beberapa Rumah Toko yang cukup besar. Gadis berdarah Spanyol-Kazakhstan itu terus berjalan dengan waspada, siapa tahu ada orang yang berniat jahat terhadap dirinya. Terlebih lagi ia seorang gadis cantik yang berjalan sendirian di kesunyian malam. Tetapi Sabina tidak terlalu khawatir, karena kota Lleida termasuk kota paling aman di Spanyol, dan setiap 1 jam sekali ada Polisi yang berpatroli.
Langkah Sabina terhenti, saat mendengar keramain di seberang jalan. Tampak sebuah Bar yang ramai di datangi para pengunjung, pria ataupun wanita. Sabina kembali melangkahkan kakinya, tanpa memedulikan keramaian di Bar tersebut, karena tempat seperti itu bukanlah tempat yang menarik untuknya.
"Siapa kau?" Sabina terlonjak kaget saat ada seseorang yang menabraknya dari belakang. Orang itu jatuh dengan posisi duduk di trotoar membelakangi Sabina, ia jatuh karena Sabina mendorongnya dengan kuat saat ia menabraknya dari belakang, Sabina melakukannya karena reflek dan terkejut. Dengan tangan gemetar, Sabina menyetuh bahu orang itu dan memutar tubuhnya, "Marc, kau kah itu?"
Marc hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan Sabina, ia mencoba berdiri dengan tenaga yang tersisa. Namun ia kembali terjatuh, lantaran tubuhnya lemas akibat terlalu banyak meminum Wine.
"Kau mabuk Marc?" Sabina mendekatkan wajahnya di depan wajah Marc, dan ia mencium bau Alkohol yang begitu menyengat, "Mari kubantu..kau mabuk berat Marc.."
"Kalau aku tidak mampu berdiri, itu bukan karena mabuk..uhuk..itu karena aku lumpuh seperti Masha..uhuk.." Marc cegukan dan mengucapkan kalimat-kalimat yang aneh.
Sabina hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan Marc. Kemudian ia membantu Marc untuk berdiri dan membimbingnya berjalan. Sabina meletakkan tangan kiri Marc di bahunya agar memudahkan dirinya membimbing Marc berjalan menuju rumahnya. Rumah Marc tak jauh dari Bar yang baru saja Sabina lewati. Sabina yakin jika Marc baru saja mengunjungi tempat itu, karena tak ada lagi Bar selain Bar tadi, yang diberi nama Ocean Bar.
"Aku ingin lumpuh..uhuk..seperti Masha," Marc mulai menggerutu aneh, kepalanya ia sandarkan di bahu mungil Sabina. Beruntung, tinggi badannya dengan Sabina hampir sama, jadi ia tak perlu terlalu menundukkan kepalanya.
Sabina tak menanggapi ucapan Marc, untuk apa memedulikan kalimat yang diucapkan oleh orang yang sedang dalam keadaan tidak sadar.
"Aku ingin kursi..uhuk..roda," Lagi-lagi Marc menggerutu tidak jelas, Sabina tetap tidak menanggapi ucapan Marc. Sebenarnya Sabina tahu apa yang sedang terjadi di antara Masha dan Marc. Karena Alex sering menceritakan tentang semuanya, termasuk kejadian yang membuat Masha lumpuh. Sabina mengenal Marc dan keluarganya karena rumahnya berdekatan dengan rumah Kakek dan Nenek Marc. Terlebih lagi, Sabina dan Alex berteman baik. Tetapi Sabina tidak terlalu akrab dengan Marc, lantaran Marc terlalu sibuk dengan karir balapnya, dan Sabina sibuk dengan kuliahnya. Sedangkan dengan Masha, ia sangat akrab, namun semenjak Masha lumpuh, Masha tak mau bertemu siapapun lagi kecuali keluarganya.
Sabina kelelahan karena berjalan sambil menahahan badan Marc yang kekar. Akhirnya Sabina memilih berhenti di Halte Bus terdekat dan mendudukkan tubuh Marc. "Kita istirahat dulu sebentar Marc, aku lelah." Sabina meregangkan otot-ototnya sembari menyeka keringat yang menetes dari pelipisnya.
"Aku merindukan Masha.." Marc merebahkan kepalanya di pangkuan Sabina, membuatnya terkejut dan membulatkan matanya, tak percaya.
Mendadak jantung Sabina berdetak lebih cepat dari biasanya, ia bisa merasakan embusan napas Marc di kakinya yang dilapisi celana Jeans berwarna hitam. Entah kenapa, Sabina seperti merasakan ada sesuatu yang berhasil menyentuh bagian terdalamnya, yakni hatinya.
"Ayo kita pulang Marc, malam sudah semakin larut." Sabina hendak berdiri, tetapi Marc menahannya.
"Apa ada cara untuk memindahkan kakiku, untuk menggantikan kaki Masha yang lumpuh?" Marc menatap mata kelabu Sabina.
"Tidak akan pernah ada, meski kau menjadi seorang dokter terhebat sekalipun.." Sabina mengalihkan pandangannya ke arah jalanan yang sepi. Ia tak mau membalas tatapan Marc, yang membuatnya seperti melayang-layang di udara. "Ayo kita pulang."
Sabina kembali membimbing Marc berjalan, namun tidak seperti sebelumnya, karena saat ini Sabina hanya melingkarkan tangannya di lengan Marc yang kekar. Meski keadaannya tidak separah yang sebelumnya, Marc tetap saja menggerutu tidak jelas dan hanya ditanggapi anggukan oleh Sabina.
Sesampainya di teras rumah yang memiliki pintu bercat putih, Sabina memencet bel rumah tersebut, berharap sang pemilik rumah masih terjaga dan membukakan pintu untuk dirinya dan Marc.
Baru saja Sabina hendak memencet bel untuk yang ketiga kalinya, ketika terdengar ada seseorang yang memutar kunci lalu menarik gangang pintu. Tampak lelaki jangkung yang bekulit putih tengah berdiri di hadapan Sabina dan Marc. Lelaki itu menyipitkan matanya, "Sabina, Marc kenapa?"
"Apa kami boleh masuk dulu? Badan Marc berat.." Alex hanya mengangguk, lalu mempersilahkan Sabina dan Kakanya masuk ke dalam rumah.
Sabina membaringkan tubuh Marc di sofa yang ada di ruang tamu. Tadi di tengah perjalanan Marc tertidur, dan dengan terpaksa Sabina membawa Marc pulang dengan susah payah. Ia harus menyerer tubuh Marc dengan tangan yang di letakkan di bahunya. Sepertinya besok Sabina harus pijat refleksi.
"Marc kenapa?"
"Dia mabuk berat, dan dia terus memanggil nama Masha."
Alex menatap Kakaknya yang sedang tertidur di sofa. Tanpa mengalihkan tatapannya, Alex berkata, "Terima kasih sudah mengantarkan Marc..dan maaf sudah merepotkan."
"Sama-sama, aku sama sekali tak merasa di repotkan. Aku pamit dulu Lex.."
"Ini sudah larut malam, apa kau tidak menginap di sini saja?" Tawar Alex.
"Tidak, terima kasih, aku sudah menghubungi Kakakku untuk menjemputku. Aku pulang dulu Lex, Bye.." Sabina berpamitan kemudian berjalan keluar sembari melabaikan tangan kepada Alex.
"Ya, hati-hati di jalan.." Alex membalas lambaian tangan Sabina sembari tersenyum tipis yang hampir tak terlihat.
"Masalah ini harus cepat diselesaikan.."
Maaf jika feelnya nggak dapet, dan membosankan. Tapi jangan lupa komentarnya ^^ Oh iya, untuk yang nunggu ff Love Story In Circuit, maaf banget, mungkin ff itu agak lama publishnya. karena kesibukanku yang menumpuk :( tapi tenang, aku sudah merancang beberapa bagian dari ff itu :) see you next chapter yaww.
Sabina melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, jam menunjukkan pukul 11 p.m, ia menghela napas berat, sudah hampir 1 jam Sabina menunggu Taxi di depan toko buku, tapi tak ada satu pun Taxi yang lewat. Di jam-jam seperti saat ini sudah tidak ada kendaraan umum yang lewat selain Taxi.
"Sabina, kau masih di sini?" Tanya Janet, penjaga toko buku yang sudah mengenal Sabina sejak 2 tahun yang lalu, karena Sabina sering sekali membaca atau membeli buku di tempatnya bekerja.
"Iya Jane, belum ada Taxi yang lewat. Apa kau sudah mau pulang?" Sabina melangkah mendekati Janet yang sedang mengunci toko buku, sembari merapatkan jaket cokelat yang ia kenakan.
"Iya, ini sudah malam, sudah waktunya toko tutup. Oh iya, di jam seperti sekarang ini sudah tidak ada Taxi atau Bus yang lewat, apa kau mau menginap di apartemenku saja?" Tawar Janet, ia tinggal di apartemen yang tak jauh dari toko, ia sebenarnya lahir dan besar di Valencia, namun ia memilih pindah ke Lleida 2 tahun yang lalu karena sebuah masalah.
"Tidak, aku pulang dengan berjalan kaki saja jika 2 menit lagi tak ada Taxi yang lewat."
"Baiklah, kalau begitu hati-hati di jalan ya..maaf tidak bisa menemanimu di sini, karena pangeran kecilku sudah menunggu, bye..." Janet melambaikan tangan sembari melangkah pergi meninggalkan Sabina.
Sabina membalas lambaian tangan Janet dengan sebuah senyuman tipis di bibirnya. Ia kembali melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, lalu melihat jalanan yang sudah benar-benar terlihat sangat sepi. Akhirnya, Sabina memutuskan pulang dengan berjalan kaki, meski jarak antara toko buku dan rumahnya cukup jauh.
Sabina berjalan menyusuri trotoar yang melewati beberapa Rumah Toko yang cukup besar. Gadis berdarah Spanyol-Kazakhstan itu terus berjalan dengan waspada, siapa tahu ada orang yang berniat jahat terhadap dirinya. Terlebih lagi ia seorang gadis cantik yang berjalan sendirian di kesunyian malam. Tetapi Sabina tidak terlalu khawatir, karena kota Lleida termasuk kota paling aman di Spanyol, dan setiap 1 jam sekali ada Polisi yang berpatroli.
Langkah Sabina terhenti, saat mendengar keramain di seberang jalan. Tampak sebuah Bar yang ramai di datangi para pengunjung, pria ataupun wanita. Sabina kembali melangkahkan kakinya, tanpa memedulikan keramaian di Bar tersebut, karena tempat seperti itu bukanlah tempat yang menarik untuknya.
"Siapa kau?" Sabina terlonjak kaget saat ada seseorang yang menabraknya dari belakang. Orang itu jatuh dengan posisi duduk di trotoar membelakangi Sabina, ia jatuh karena Sabina mendorongnya dengan kuat saat ia menabraknya dari belakang, Sabina melakukannya karena reflek dan terkejut. Dengan tangan gemetar, Sabina menyetuh bahu orang itu dan memutar tubuhnya, "Marc, kau kah itu?"
Marc hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan Sabina, ia mencoba berdiri dengan tenaga yang tersisa. Namun ia kembali terjatuh, lantaran tubuhnya lemas akibat terlalu banyak meminum Wine.
"Kau mabuk Marc?" Sabina mendekatkan wajahnya di depan wajah Marc, dan ia mencium bau Alkohol yang begitu menyengat, "Mari kubantu..kau mabuk berat Marc.."
"Kalau aku tidak mampu berdiri, itu bukan karena mabuk..uhuk..itu karena aku lumpuh seperti Masha..uhuk.." Marc cegukan dan mengucapkan kalimat-kalimat yang aneh.
Sabina hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan Marc. Kemudian ia membantu Marc untuk berdiri dan membimbingnya berjalan. Sabina meletakkan tangan kiri Marc di bahunya agar memudahkan dirinya membimbing Marc berjalan menuju rumahnya. Rumah Marc tak jauh dari Bar yang baru saja Sabina lewati. Sabina yakin jika Marc baru saja mengunjungi tempat itu, karena tak ada lagi Bar selain Bar tadi, yang diberi nama Ocean Bar.
"Aku ingin lumpuh..uhuk..seperti Masha," Marc mulai menggerutu aneh, kepalanya ia sandarkan di bahu mungil Sabina. Beruntung, tinggi badannya dengan Sabina hampir sama, jadi ia tak perlu terlalu menundukkan kepalanya.
Sabina tak menanggapi ucapan Marc, untuk apa memedulikan kalimat yang diucapkan oleh orang yang sedang dalam keadaan tidak sadar.
"Aku ingin kursi..uhuk..roda," Lagi-lagi Marc menggerutu tidak jelas, Sabina tetap tidak menanggapi ucapan Marc. Sebenarnya Sabina tahu apa yang sedang terjadi di antara Masha dan Marc. Karena Alex sering menceritakan tentang semuanya, termasuk kejadian yang membuat Masha lumpuh. Sabina mengenal Marc dan keluarganya karena rumahnya berdekatan dengan rumah Kakek dan Nenek Marc. Terlebih lagi, Sabina dan Alex berteman baik. Tetapi Sabina tidak terlalu akrab dengan Marc, lantaran Marc terlalu sibuk dengan karir balapnya, dan Sabina sibuk dengan kuliahnya. Sedangkan dengan Masha, ia sangat akrab, namun semenjak Masha lumpuh, Masha tak mau bertemu siapapun lagi kecuali keluarganya.
Sabina kelelahan karena berjalan sambil menahahan badan Marc yang kekar. Akhirnya Sabina memilih berhenti di Halte Bus terdekat dan mendudukkan tubuh Marc. "Kita istirahat dulu sebentar Marc, aku lelah." Sabina meregangkan otot-ototnya sembari menyeka keringat yang menetes dari pelipisnya.
"Aku merindukan Masha.." Marc merebahkan kepalanya di pangkuan Sabina, membuatnya terkejut dan membulatkan matanya, tak percaya.
Mendadak jantung Sabina berdetak lebih cepat dari biasanya, ia bisa merasakan embusan napas Marc di kakinya yang dilapisi celana Jeans berwarna hitam. Entah kenapa, Sabina seperti merasakan ada sesuatu yang berhasil menyentuh bagian terdalamnya, yakni hatinya.
"Ayo kita pulang Marc, malam sudah semakin larut." Sabina hendak berdiri, tetapi Marc menahannya.
"Apa ada cara untuk memindahkan kakiku, untuk menggantikan kaki Masha yang lumpuh?" Marc menatap mata kelabu Sabina.
"Tidak akan pernah ada, meski kau menjadi seorang dokter terhebat sekalipun.." Sabina mengalihkan pandangannya ke arah jalanan yang sepi. Ia tak mau membalas tatapan Marc, yang membuatnya seperti melayang-layang di udara. "Ayo kita pulang."
Sabina kembali membimbing Marc berjalan, namun tidak seperti sebelumnya, karena saat ini Sabina hanya melingkarkan tangannya di lengan Marc yang kekar. Meski keadaannya tidak separah yang sebelumnya, Marc tetap saja menggerutu tidak jelas dan hanya ditanggapi anggukan oleh Sabina.
Sesampainya di teras rumah yang memiliki pintu bercat putih, Sabina memencet bel rumah tersebut, berharap sang pemilik rumah masih terjaga dan membukakan pintu untuk dirinya dan Marc.
Baru saja Sabina hendak memencet bel untuk yang ketiga kalinya, ketika terdengar ada seseorang yang memutar kunci lalu menarik gangang pintu. Tampak lelaki jangkung yang bekulit putih tengah berdiri di hadapan Sabina dan Marc. Lelaki itu menyipitkan matanya, "Sabina, Marc kenapa?"
"Apa kami boleh masuk dulu? Badan Marc berat.." Alex hanya mengangguk, lalu mempersilahkan Sabina dan Kakanya masuk ke dalam rumah.
Sabina membaringkan tubuh Marc di sofa yang ada di ruang tamu. Tadi di tengah perjalanan Marc tertidur, dan dengan terpaksa Sabina membawa Marc pulang dengan susah payah. Ia harus menyerer tubuh Marc dengan tangan yang di letakkan di bahunya. Sepertinya besok Sabina harus pijat refleksi.
"Marc kenapa?"
"Dia mabuk berat, dan dia terus memanggil nama Masha."
Alex menatap Kakaknya yang sedang tertidur di sofa. Tanpa mengalihkan tatapannya, Alex berkata, "Terima kasih sudah mengantarkan Marc..dan maaf sudah merepotkan."
"Sama-sama, aku sama sekali tak merasa di repotkan. Aku pamit dulu Lex.."
"Ini sudah larut malam, apa kau tidak menginap di sini saja?" Tawar Alex.
"Tidak, terima kasih, aku sudah menghubungi Kakakku untuk menjemputku. Aku pulang dulu Lex, Bye.." Sabina berpamitan kemudian berjalan keluar sembari melabaikan tangan kepada Alex.
"Ya, hati-hati di jalan.." Alex membalas lambaian tangan Sabina sembari tersenyum tipis yang hampir tak terlihat.
"Masalah ini harus cepat diselesaikan.."
To Be Continue
***
Aduhhh ikutan nyesek jadi marc....keknya sabina bakal jd hero utk menyatukan marc dan masha
BalasHapusitu rahasi Kak :) tunggu aja di next chapter. Thanks for reading Kak, maaf kalo fellnya kurang
Hapus